Kulihat nanar pemberitaan semesta
disuatu senja, kala yang lain mungkin masih sibuk dengan kemacetan Jakarta. Ada
yang menggelitik ruang tanya dalam hatiku, mengapa selalu ketidakadilan?Mengapa
selalu yang terpinggirkan, yang selalu menjadi sasaran ego kebinatangan seorang
manusia?apalagi mereka seharusnya menjadi teladan ditengah-tengah carut marut
zaman yang makin tak terkendali.
Pada ruang itu, dalam relung
hatiku sejenak ku kumpulkan serpihan kesempurnaan indera yang diberikan Tuhan
untuk ku. Saat kutanya pada hatiku, dengan sedikit kecewa dia mengatakan;
“Rimba waktu yang kian liar pada
sedikitnya orang-orang sadar, menginformasikan aku bahwa ada yang hilang
dikedalaman bijak manusia masa kini. Karena titik-titik hitam yang tanpa sadar
mereka kumpulkan, perlahan menutupi cahaya penglihatan kearifan langkah
nafasnya”
Aku tersenyum kala itu, karena
memang itulah kenyataan zaman ini. Di kala segala yang instan dan yang dulu
dianggap tabu, kini lumrah dan malah menjadi trend yang seakan membudaya dan
harus terlestarikan. Lalu sejenak aku menatap sang ego yang sedari tadi hanya
tertawa terkekeh-kekeh, dan dia berkata;
“ketidakadilan terlahir dari
kelemahan manusia dalam mengendalikan diri sejatinya, dan nurani ternyata
membusuk setelah penyakit-penyakitnya dibiarkan menggerogoti semangat untuk
membahagiakan yang lain. Setelah semangat yang membersamakan itu mati, penyakit
itu bermetamorfosa menjadi ambisi yang mengacaukan aliran benar dan salah.
Sehingga manusia itu, tidak lagi punya rasa empati untuk menganiaya sesamanya.”
Kutatap ego yang terengah-engah
menjelaskan kebenaran yang semakin benar kini, mungkin esok dan seterusnya
sampai manusia benar-benar peduli pada seluruh indera positif yang lahir dari
kedekatannya dengan tuhan. Saat semua hening terdiam, larut dalam kebimbangan
masa yang kian tak mengenal kebijaksanaan surga. Akalku beranjak mendekati dan
mendekatkan kami, lalu berbisik;
“ketidakadilan itu sebenarnya
tidak ada, kawan!yang ada hanyalah ruang dalam jiwa, hati, dan pikiran manusia
itu sendiri yang dibiarkan kosong dari bayang-bayang Tuhan. Karena jika Dia
Yang Maha Esa ada dan bertahta padanya, semua yang dipandang, yang
didengar,yang dirasa, yang diraba, adalah keharuan cinta untuk selalu
menyenangkan dan membahagiakan sesamanya. Bukan aniaya kedzaliman dan
ketidakadilan seperti yang selama ini kita lihat setiap hari.”
Tiba-tiba air mata mengalir
dipelupukku, tanpa sadar dada ini tergetar meyakinkan diri akan keadaan Tuhan
dalam hati. Tapi akal melihatku, dia memelukku dan berbisik ditelingaku;
“Rasakan Tuhan selalu
Memandangmu, dan ingatlah saat-saat tersulit dalam hidupmu yang Dia membantumu
tanpa kau sadari dan bahkan tanpa kau pinta. Tataplah pikiranmu, aturlah dia
dengan aturan-Nya hingga tak pernah kau akan memikirkan keunggulanmu yang bisa menyebabkanmu
berlaku tidak adil pada sesamamu”
Seluruh badanku bergetar
membanjiri air isak hati senja itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Telah Berkomentar;